Rabu, 05 Februari 2014

pengertian pendidikan islam secara etimologis



PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM SECARA ETIMOLOGIS

Pendidikan Islam Secara umum selama ini dikenal dengan  istilah al-tarbiyyah, al-ta’lĩm dan al-ta’dĩb.  Namun demikian, sebenarnya masih ada beberapa istilah lain yang memiliki pengertian serupa dengan istilah-istilah tersebut diatas. Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakir menyebut al-riyãdhah, al-irsyãd dan al-tadrĩs. Menurutnya, istilah-istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri jika disebut secara bersamaan, tetapi memiliki makna yang sama jika disebut salah satu, sebab salah satu istilah itu mewakili istilah yang lain. Sementara istilah lain untuk pendidikan menurut Abudin Nata adalah al-tazkiyah, al-muwã’idzah, al-tafaqquh, al-tilãwah, al-tahzĩb, al-irsyãd, al-tabyĩn, al-tafakkur, al-ta’aqqul dan al-tadabbur.
At-Tarbiyah berasal dari beberapa kata, pertama,  rabã-yarbũ-tarbiyatan  yang bermakna tambah dan berkembang. Kedua,  rabã-yurbĩ-tarbiyatan yang berarti tumbuh dan menjadi besar atau dewasa. Ketiga, rabba-yarubbu-tarbiyyatan, yang mengandung arti memperbaiki, menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Berpijak pada ketiga akar kata tersebut, maka Imam Baidhowi sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Soebahar menulis sebagai berikut :
الرب فى الأصل بمعنى التربية و هي التبليغ الشيء إلى كماله شيئا فشيئا
Arrab asal katanya bermakna al-tarbiyah, yakni menyampaikan atau mengantarkan sesuatu menuju kearah kesempurnaan sedikit demi sedikit.

Akar kata at-Tarbiyah beserta turunannya  ini disebutkan dalam al-Qur’an lebih dari 1.000 kali. Salah satunya disebutkan dalam Surat al-Isra ayat 24 :

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Jalaluddin mengatakan bahwa pendidikan dalam konsep al-tarbiyyah pada ayat diatas menggambarkan adanya hubungan antara tugas kependidikan orang tua terhadap anaknya dengan Tuhan sebagai Rabb (Maha Pendidik).
Menurut Abudin Nata, al-tarbiyah berarti proses menumbuhkan dan mengembangkan potensi (fisik, intelektual, sosial, estetika dan spiritual) yang terdapat pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh dan terbina dengan optimal, melalui cara memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengaturnya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan. Dengan demikian, pendidikan mengandung cakupan tujuan pendidikan, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengaturnya. Hal ini senada dengan firman Allah :
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”

Dalam pandangannya, kata rabb yang terdapat pada ayat tersebut berarti Tuhan yang ditaati, yang memiliki, mendidik dan memelihara. Kata rabb tidak dipakai selain untuk Tuhan, kecuali jika ada sambungan dengan kalimat lain, seperti rabb al-bait (tuan rumah).
Selanjutnya, Abudin Nata mengutip pendapat al-Raghib al-Asfahaniy ketika menafsirkan ayat tersebut di atas sebagai berikut :

هو السيد المربى الذى يسوس من يربيه و يدبرشؤنه. وتربية الله للناس نوعان, تربية الخلقية تكون بتنمية أجسامهم حتى تبلغ الأشد و تربية قوة النفسية والعقلية, و تريبة الدينية تكون بما يوحيه إلى أفراد منهم ليبلغ للناس ما به تكمل عقولهم و تصفو نفوسهم, وليس لغيره أن يشرأ للناس عبادة ولا يحل شيئا ويحرم أخر إلا بإذن منه
Arinya : Rabb adalah Tuhan yang mendidik yang memperkuat orang yang dididik dan mengatur keadaan mereka. Pendidikan yang diberikan Allah kepada manusia terbagi dua, yaitu pendidikan fisik yang dilakukan dengan mengembangkan jasmaninya, sehingga mencapai keadaan yang kukuh, dan mengembangkan kekuatan jiwa dan akalnya, dan pendidikan keagamaan dan budi pekerti yang dilakukan dengan cara menyampaikan ajaran agama kepada setiap  orang sehingga sempurna akalnya dan bersih jiwanya, dan tidak boleh kepada siapapun menyuruh manusia untuk menyembah selain Allah, tidak menghalalkan sesuatu yang haram, dan tidak mengharamkan yang halal kecuali atas izin-Nya.


Mengenai kata al-tarbiyah yang dijumpai pada Surat Al-Isra ayat 17 sebagaimana disebutkan diatas dalam pandangan Abudin Nata dengan jelas diartikan pendidikan, yaitu pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya. Karena demikian besar arti pendidikan yang diberikan orang tua, maka seorang anak harus menunjukkan sikap hormat dan terima kasih, dengan cara bersikap tawadhu (rendah hati) dan mendo’akan kebaikan bagi keduanya.
Sementara al-ta’lim, merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari kata’allama yang artinya mengajar. Sebagian para ahli mengartikan istilah al-tarbiyah dengan pendidikan sedangkan al-ta’lĩm dengan pengajaran. Rasyid Ridho sebagaimana dikutip Abdul Mujib, mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Pengertian ini didasarkan pada Firman Allah  SWT :
"Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar" (QS. al-Baqarah : 31)

Proses transisi pada ayat di atas, dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam AS menyaksikan dan menganalisis asma’(nama-nama) yang diajarkan Allah kepadanya.
Selain pengertian al-ta’lim diatas, Samsul Nizar mengatakan bahwa istilah tersebut telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Kata ini lebih universal dibandingkan dua istilah lain, yaitu al-tarbiyah dan al-ta’dib. Dalam hal ini Nizar mengutip pendapat Muhammad Rasyid Ridho dan Abdul Fatah Jalal.
Muhammad Rasyid Ridho sebagaimana dikutipnya, mengartikan ta’lim sebagai proses transisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya ini didasarkan pada Firman Allah :
”Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 151)
               
Kalimat wa yu’allimuhul kitãb wal hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan tentang aktifitas Rasulullah  mengajarkan tilawat al-Qur’an  kepada kaum muslimin. Abdul Fatah Jamal mengatakan bahwa apa yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat umat Islam mampu membaca, melainkan membawa mereka kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkan menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui.  Oleh karena itu, menurutnya, makna    al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku. Kecenderungan ini didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah SWT adalah Nabi Adam AS.
Istilah ta’lim pada ayat di atas, menurut Muhaimin sebagaimana dikutip Abdul Mujib, mencakup teoritis dan praktis, sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menampik kemudharatan. Pengajaran ini juga mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah (bijaksana).
Mengenai pendidikan dalam pengertian  ini, Jalaluddin dalam bukunya, Teologi Pendidikan, berpendapat bahwa ta’lim menitikberatkan pada pembentukan wawasan ilmu  pengetahuan dan teknologi melalui pengembangan potensi fitrah manusia selaku makhluk ciptaan Allah. Oleh karena itu, sumber ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hasil kajian empiris, melainkan juga melalui proses pensucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah.
Sedangkan Al-Ta’dib, berasal dari kata addaba yang berarti mendidik, memperbaiki. Menurut Abdul Mujib dan Mudzakir, al-Ta’dib seakar dengan kata adab yang bermakna pendidikan peradaban atau kebudayaan.  Artinya, orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya, peradaban dapat diraih melalui pendidikan. Selanjutnya, Abdul Mujib dan Mudzakir mengutip pendapat Naquib al-Attas yang mengatakan bahwa ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur yang ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan  kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW :
أدبنى ربى فأحسن ـأديبيى
"Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku."

Dalam pandangan al-Attas, istilah ta’dib ini merupakan istilah yang paling relevan dibandingkan dua istilah sebelumnya. Sebagai seorang ahli bahasa, filsafat sekaligus pendidikan, ia mendasarkan analisisnya atas konsep semantik dan hadits Rasulullah SAW, ketika al-Qur’an digambarkan sebagai undangan Allah utuk menggambarkan suatu penjamuan di atas bumi dan kita sangat dianjurkan untuk mengambil bagian dengan cara memiliki pengetahuan yang benar tentangnya. Sabda Rasulullah SAW :
إن هذا القران مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته (رواه ابن مسعود)

“Sesungguhnya al-Qur’an adalah hidangan Allah bagi manusia di atas muka bumi, maka barang siapa yang mempelajarinya, berarti dia belajar dari hidangannya.” (HR. Ibnu Mas’ud)

Tidak dikembangkannya istilah ta’dib ini dalam dunia pendidikan Islam berpengaruh pada tiga hal penting. Pertama, kebiasaan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang kedua, yakni gilirannya pada umat. Ketiga, serupa bangkitnya pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang absah di kalangan umat, karena tidak memenuhi standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi.
Sedangkan menurut Jalaluddin, mengenai pendidikan dalam konsep          al-ta’dib ini, lebih dititikberatkan pada pembentukan nilai-nilai akhlak, bukan sekedar nilai-nilai moral. Dalam pandangannya, Islam memandang nilai akhlak lebih lengkap dan lebih sempurna ketimbang nilai moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar