PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM SECARA ETIMOLOGIS
Pendidikan Islam Secara umum selama ini dikenal dengan istilah al-tarbiyyah, al-ta’lĩm dan
al-ta’dĩb. Namun demikian,
sebenarnya masih ada beberapa istilah lain yang memiliki pengertian serupa
dengan istilah-istilah tersebut diatas. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menyebut al-riyãdhah, al-irsyãd
dan al-tadrĩs. Menurutnya, istilah-istilah tersebut memiliki
keunikan makna tersendiri jika disebut secara bersamaan, tetapi memiliki makna
yang sama jika disebut salah satu, sebab salah satu istilah itu mewakili
istilah yang lain.
Sementara istilah lain untuk pendidikan menurut Abudin Nata adalah al-tazkiyah,
al-muwã’idzah, al-tafaqquh, al-tilãwah, al-tahzĩb, al-irsyãd, al-tabyĩn,
al-tafakkur, al-ta’aqqul dan al-tadabbur.
At-Tarbiyah berasal dari beberapa kata, pertama, rabã-yarbũ-tarbiyatan yang bermakna tambah dan berkembang.
Kedua, rabã-yurbĩ-tarbiyatan
yang berarti tumbuh dan menjadi besar atau dewasa. Ketiga, rabba-yarubbu-tarbiyyatan,
yang mengandung arti memperbaiki, menguasai urusan, memelihara dan merawat,
memperindah, memberi makna, mengasuh, memiliki, mengatur dan menjaga
kelestarian maupun eksistensinya. Berpijak pada ketiga akar kata tersebut, maka
Imam Baidhowi sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Soebahar menulis sebagai
berikut :
الرب فى الأصل بمعنى التربية و هي التبليغ الشيء إلى كماله
شيئا فشيئا
Arrab asal katanya bermakna al-tarbiyah,
yakni menyampaikan atau mengantarkan sesuatu menuju kearah kesempurnaan sedikit
demi sedikit.
Akar kata at-Tarbiyah beserta turunannya ini disebutkan dalam al-Qur’an lebih dari
1.000 kali. Salah
satunya disebutkan dalam Surat al-Isra ayat 24 :
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Jalaluddin mengatakan bahwa pendidikan dalam konsep al-tarbiyyah
pada ayat diatas menggambarkan adanya hubungan antara tugas kependidikan orang
tua terhadap anaknya dengan Tuhan sebagai Rabb (Maha Pendidik).
Menurut Abudin Nata, al-tarbiyah berarti proses
menumbuhkan dan mengembangkan potensi (fisik, intelektual, sosial, estetika dan
spiritual) yang terdapat pada peserta didik, sehingga dapat tumbuh dan terbina
dengan optimal, melalui cara memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan
mengaturnya secara terencana, sistematis dan berkelanjutan. Dengan demikian,
pendidikan mengandung cakupan tujuan pendidikan, yaitu menumbuhkan dan
mengembangkan potensi; dan proses pendidikan, yaitu memelihara, mengasuh,
merawat, memperbaiki dan mengaturnya. Hal ini senada dengan firman Allah :
”Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam”
Dalam pandangannya, kata rabb yang terdapat pada
ayat tersebut berarti Tuhan yang ditaati, yang memiliki, mendidik dan
memelihara. Kata rabb tidak dipakai selain untuk Tuhan, kecuali jika ada
sambungan dengan kalimat lain, seperti rabb al-bait (tuan rumah).
Selanjutnya, Abudin Nata mengutip pendapat al-Raghib
al-Asfahaniy ketika menafsirkan ayat tersebut di atas sebagai berikut :
هو السيد المربى
الذى يسوس من يربيه و يدبرشؤنه. وتربية الله للناس نوعان, تربية الخلقية تكون
بتنمية أجسامهم حتى تبلغ الأشد و تربية قوة النفسية والعقلية, و تريبة الدينية
تكون بما يوحيه إلى أفراد منهم ليبلغ للناس ما به تكمل عقولهم و تصفو نفوسهم, وليس
لغيره أن يشرأ للناس عبادة ولا يحل شيئا ويحرم أخر إلا بإذن منه
Arinya :
Rabb adalah Tuhan yang mendidik yang memperkuat orang yang dididik dan mengatur
keadaan mereka. Pendidikan yang diberikan Allah kepada manusia terbagi dua,
yaitu pendidikan fisik yang dilakukan dengan mengembangkan jasmaninya, sehingga
mencapai keadaan yang kukuh, dan mengembangkan kekuatan jiwa dan akalnya, dan
pendidikan keagamaan dan budi pekerti yang
dilakukan dengan cara menyampaikan ajaran agama kepada setiap orang sehingga sempurna akalnya dan bersih
jiwanya, dan tidak boleh kepada siapapun menyuruh manusia untuk menyembah
selain Allah, tidak menghalalkan sesuatu yang haram, dan tidak mengharamkan
yang halal kecuali atas izin-Nya.
Mengenai kata al-tarbiyah yang dijumpai pada Surat
Al-Isra ayat 17 sebagaimana disebutkan diatas dalam pandangan Abudin Nata
dengan jelas diartikan pendidikan, yaitu pendidikan yang diberikan orang tua
kepada anaknya. Karena demikian besar arti pendidikan yang diberikan orang tua,
maka seorang anak harus menunjukkan sikap hormat dan terima kasih, dengan cara
bersikap tawadhu (rendah hati) dan mendo’akan kebaikan bagi keduanya.
Sementara al-ta’lim, merupakan kata benda buatan (mashdar)
yang berasal dari kata’allama yang artinya mengajar.
Sebagian para ahli mengartikan istilah al-tarbiyah dengan pendidikan sedangkan al-ta’lĩm dengan pengajaran. Rasyid Ridho sebagaimana dikutip Abdul Mujib,
mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Pengertian ini didasarkan pada Firman Allah SWT :
"Dan dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar
orang-orang yang benar" (QS. al-Baqarah :
31)
Proses transisi pada ayat di atas, dilakukan secara
bertahap sebagaimana Nabi Adam AS menyaksikan dan menganalisis asma’(nama-nama)
yang diajarkan Allah kepadanya.
Selain pengertian al-ta’lim diatas, Samsul Nizar
mengatakan bahwa istilah tersebut telah digunakan sejak periode awal
pelaksanaan pendidikan Islam. Kata ini lebih universal dibandingkan dua istilah
lain, yaitu al-tarbiyah dan al-ta’dib. Dalam hal ini Nizar mengutip pendapat Muhammad Rasyid Ridho dan
Abdul Fatah Jalal.
Muhammad Rasyid Ridho sebagaimana dikutipnya, mengartikan
ta’lim sebagai proses transisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa
individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya ini
didasarkan pada Firman Allah :
”Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus
kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan
mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 151)
Kalimat wa yu’allimuhul kitãb wal hikmah dalam
ayat tersebut menjelaskan tentang aktifitas Rasulullah mengajarkan tilawat al-Qur’an kepada kaum muslimin. Abdul Fatah Jamal
mengatakan bahwa apa yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat umat Islam
mampu membaca, melainkan membawa mereka kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs
(pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkan menerima al-hikmah
serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, menurutnya, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada
pengetahuan lahiriyah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang
secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan,
perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku.
Kecenderungan ini didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang
mendapat pengajaran langsung dari Allah SWT adalah Nabi Adam AS.
Istilah ta’lim pada ayat di atas,
menurut Muhaimin sebagaimana dikutip Abdul Mujib, mencakup teoritis dan
praktis, sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran melaksanakan
hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menampik kemudharatan. Pengajaran ini
juga mencakup ilmu pengetahuan dan al-hikmah (bijaksana).
Mengenai pendidikan dalam pengertian ini, Jalaluddin dalam bukunya, Teologi
Pendidikan, berpendapat bahwa ta’lim menitikberatkan pada pembentukan
wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pengembangan potensi fitrah manusia selaku makhluk ciptaan Allah. Oleh
karena itu, sumber ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hasil kajian empiris,
melainkan juga melalui proses pensucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah.
Sedangkan Al-Ta’dib, berasal dari kata addaba yang
berarti mendidik, memperbaiki.
Menurut Abdul Mujib dan Mudzakir, al-Ta’dib seakar dengan kata adab yang
bermakna pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orang yang berpendidikan adalah orang
yang berperadaban, sebaliknya, peradaban dapat diraih melalui pendidikan.
Selanjutnya, Abdul Mujib dan Mudzakir mengutip pendapat Naquib al-Attas yang
mengatakan bahwa ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur yang ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke
arah pengenalan dan pengakuan kekuatan
dan keagungan Tuhan. Pengertian ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW :
أدبنى ربى فأحسن ـأديبيى
Dalam pandangan
al-Attas, istilah ta’dib ini merupakan istilah yang paling relevan
dibandingkan dua istilah sebelumnya. Sebagai seorang ahli bahasa, filsafat
sekaligus pendidikan, ia mendasarkan analisisnya atas konsep semantik dan
hadits Rasulullah SAW, ketika al-Qur’an digambarkan sebagai undangan Allah utuk
menggambarkan suatu penjamuan di atas bumi dan kita sangat dianjurkan untuk
mengambil bagian dengan cara memiliki pengetahuan yang benar tentangnya. Sabda
Rasulullah SAW :
إن
هذا القران مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته (رواه ابن
مسعود)
“Sesungguhnya al-Qur’an adalah hidangan
Allah bagi manusia di atas muka bumi, maka barang siapa yang mempelajarinya,
berarti dia belajar dari hidangannya.” (HR. Ibnu Mas’ud)
Tidak dikembangkannya
istilah ta’dib ini dalam dunia pendidikan Islam berpengaruh pada tiga
hal penting. Pertama, kebiasaan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan,
yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang kedua, yakni
gilirannya pada umat. Ketiga, serupa bangkitnya pemimpin yang tidak
memenuhi syarat kepemimpinan yang absah di kalangan umat, karena tidak memenuhi
standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi.
Sedangkan menurut
Jalaluddin, mengenai pendidikan dalam konsep al-ta’dib ini, lebih dititikberatkan pada
pembentukan nilai-nilai akhlak, bukan sekedar nilai-nilai moral. Dalam
pandangannya, Islam memandang nilai akhlak lebih lengkap dan lebih sempurna
ketimbang nilai moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar